Beranda | Artikel
Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 5)
Selasa, 5 Oktober 2021

Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 4)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

اعلم أرشدك الله لطاعته أن الحنيفية ملة إبراهيم أن تعبد الله وحده مخلصا له الدين

Ketahuilah -semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya- bahwa Al-Hanifiyyah, yaitu agama Ibrahim, adalah kamu beribadah kepada Allah semata dengan memurnikan agama untuk-Nya.

Penjelasan :

Sebagaimana kebiasaan beliau, penulis rahimahullah mendoakan kebaikan untuk pembaca risalahnya. Hal ini mengandung sikap kelembutan seorang dai dan pengajar kepada orang yang dia ajari. Demikianlah semestinya profil seorang pendakwah. Kelembutan dan kasih sayang merupakan sifat utama yang harus ada pada seorang da’i ilallah.

Di dalam doa ini beliau memohon kepada Allah agar memberikan bimbingan kepada kita dalam hal ilmu dan amalan. Karena yang dimaksud dengan ar-rusyd adalah mengamalkan kebenaran yang telah diketahui. Lawan darinya adalah ghawayah/menyimpang, yaitu tidak mengamalkan ilmu. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disifati oleh Allah sebagai orang yang tidak dholla/sesat dan tidak ghowa/menyimpang. Yang disebut dholla atau dholal adalah tidak berilmu alias bodoh sehingga tersesat dari jalan yang benar. Adapun ghowa atau ghowayah adalah tidak mengamalkan ilmu alias meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya. Kedua sifat buruk ini ternafikan dari diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Maka, demikianlah sifat yang dikehendaki ada pada diri setiap muslim. Menggabungkan antara ilmu yang bermanfaat dengan amal saleh. Saking beratnya dosa tidak mengamalkan ilmu, disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa orang yang berilmu tetapi tidak beramal dengannya maka ia diazab sebelum para pemuja berhala. Semoga Allah melindungi kita darinya.

Di dalam doa ini, penulis mendoakan agar Allah memberikan bimbingan kepada kita untuk taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah merupakan sumber segala kebaikan dan asas kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Orang-orang yang mencapai tingkatan tinggi dalam tauhid senantiasa memiliki sifat taat dan patuh kepada Allah. Sebagaimana sifat yang ada pada diri Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang Allah kisahkan di dalam Al-Qur’an. Allah menyebut beliau sebagai sosok yang qaanitan lillaah, selalu patuh dan taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah merupakan bukti kecintaan seorang hamba.

Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan orang arab innal muhibba liman yuhibbu muthii’u yang berarti bahwa orang yang mencintai tentu taat kepada siapa yang dia cintai. Ibadah kepada Allah merupakan kecintaan yang melahirkan ketaatan dan ketundukan. Karena ibadah itu tegak di atas dua pilar utama, perendahan seutuhnya kepada Allah dan kecintaan yang tinggi kepada-Nya, sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.  Dalam Nuniyah-nya beliau berkata,

Ibadah kepada Ar-Rahman merupakan puncak kecintaan kepada-Nya

Beserta perendahan diri sang hamba

Itulah dua poros agama

Di atas kedua poros itulah tata surya ibadah beredar

Ketaatan kepada Allah mencakup dua bagian utama:

– melaksanakan perintah-Nya

– menjauhi larangan-Nya

Baca Juga: Pelajaran Aqidah Dan Manhaj Dari Surat Al-Fatihah (1)

Millah Ibrahim

Kemudian, penulis rahimahullah menjelaskan kepada kita tentang makna Al-Hanifiyyah atau millah Ibrahim. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mendakwahkan agama Islam, sebagaimana seluruh nabi yang lain. Karena semua nabi mengajarkan Islam. Meskipun demikian, Allah memilih Ibrahim sebagai teladan bagi para nabi sesudahnya. Dan Allah turunkan dari anak cucunya para nabi setelahnya sampai nabi yang terakhir, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mana beliau merupakan keturunan dari Nabi Isma’il bin Ibrahim ‘alaihimas salam.

Lebih daripada itu, Allah pun memilih Ibrahim sebagai khalil/kekasih-Nya. Tidak lain karena tingkat penghambaan beliau dan nilai ketauhidannya yang sangat mulia. Bagaimana tidak? Begitu banyak ujian dan cobaan yang beliau hadapi dalam memperjuangkan dakwah tauhid ini. Dan beliau pun mendapat taufik dari Allah untuk melalui segala ujian itu dengan penuh kesabaran dan keyakinan. Oleh sebab itu, masyhur perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, bahwa beliau mengatakan, “Dengan sabar dan keyakinan akan diraih kepemimpinan dalam agama.”

Ibrahim merupakan sosok yang sangat penting dalam dakwah tauhid ini. Bahkan sampai-sampai berbagai penganut agama pun menisbatkan diri sebagai penerus ajarannya. Walaupun pada umumnya, itu hanya klaim semata tanpa bukti. Orang-orang Yahudi mengaku sebagai penerus ajaran Ibrahim, padahal mereka pun telah menyelewengkan ayat-ayat Taurat, kitab suci yang Allah turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam. Mereka pun menolak untuk beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal, mereka mengenal dengan baik ciri-ciri beliau -yang telah dijelaskan di dalam Taurat- sebagaimana seorang bapak mengenali anak-anaknya sendiri. Begitu pula, orang Nasrani mengklaim sebagai penerus ajaran Ibrahim karena mereka mengaku sebagai pengikut ajaran Isa ‘alaihis salam yang mereka angkat sebagai Tuhan. Sehingga, jatuhlah mereka dalam sikap berlebihan dan mempersekutukan Allah Ar-Rahman. Mereka menisbatkan anak kepada Allah. Sesuatu yang sama sekali tidak diajarkan oleh Nabi Ibrahim, bahkan tidak juga oleh Nabi Isa ‘alaihis salam.

Bukan hanya itu, kaum musyrikin pun tidak mau kalah. Mereka yang sekian lama memenuhi pelataran Ka’bah dengan berhala pun menganggap bahwa merekalah yang paling pantas disebut sebagai pewaris ajaran Ibrahim. Karena merekalah yang mengagungkan Ka’bah yang dibangun oleh Ibrahim bersama Ismail putranya. Padahal, Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk menyembah berhala. Demikianlah, setan mengelabui manusia dan menyesatkan mereka dari jalan yang lurus. Maka, siapa pun yang mengaku sebagai penerus ajaran Ibrahim wajib menyadari bahwa agama yang beliau sampaikan kepada manusia adalah Islam. Ajaran yang menuntut setiap hamba untuk memurnikan ibadahnya kepada Allah.

Ajaran Kitab Suci dari Langit

Allah berfirman,

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ

“Dan tidak mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif, dan supaya mereka mendirikan salat serta menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di dalam Taurat dan Injil kecuali supaya memurnikan ibadah kepada Allah dengan penuh ketauhidan.” (disebutkan oleh Imam Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya Ma’alim At-Tanzil, hal. 1426)

Syekh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa dari ayat ini kita bisa memetik pelajaran bahwasanya hakikat tauhid itu adalah keikhlasan kepada Allah tanpa ada sedikit pun kecondongan kepada syirik. Oleh sebab itu, barangsiapa yang tidak ikhlas kepada Allah bukanlah orang yang bertauhid. Begitu pula barangsiapa menjadikan ibadahnya, dia tujukan kepada selain Allah, maka dia juga bukan orang yang bertauhid. (lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul, hal. 76-77)

Ibadah itu sendiri merupakan perpaduan antara kecintaan dan ketundukan. Apabila ia ditujukan kepada Allah semata, maka jadilah ia ibadah yang tegak di atas tauhid. Sedangkan apabila ia ditujukan kepada selain-Nya, maka ia menjadi ibadah yang tegak di atas syirik. Ibadah kepada Allah yang sesuai dengan syariat disebut ibadah yang syar’iyah, sedangkan ibadah yang menyelisihi tuntunan syariat disebut sebagai ibadah yang bid’ah. (lihat Syarh Risalah Miftah Daris Salam oleh Syekh Shalih bin Abdillah Al-‘Ushaimi hafizhahullah, hal. 9)

Allah berfirman,

مَا كَانَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ یَهُودِیࣰّا وَلَا نَصۡرَانِیࣰّا وَلَـٰكِن كَانَ حَنِیفࣰا مُّسۡلِمࣰا

“Bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim.” (Ali ‘Imran : 67)

Syekh Shalih alu Syekh hafizhahullah berkata, “Allah ‘Azza Wajalla menjadikan Ibrahim sebagai seorang yang hanif, dalam artian orang yang berpaling dari jalan syirik menuju tauhid yang murni. Adapun Al-Hanifiyah adalah millah/ajaran yang berpaling dari segala kebatilan menuju kebenaran dan menjauh dari semua bentuk kebatilan serta condong menuju kebenaran. Itulah millah bapak kita Ibrahim ‘alaihis salam.” (lihat Syarh al-Qawa’id Al-Arba’ dengan tahqiq ‘Adil Rifa’i, hal. 13-14)

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif itu adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Inilah orang yang hanif. Yaitu orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan hati, amal, dan niat, serta kehendak-kehendaknya semuanya untuk Allah. Dan dia berpaling dari pujaan/sesembahan selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 328)

Allah berfirman,

وَقَالُوا۟ كُونُوا۟ هُودًا أَوۡ نَصَـٰرَىٰ تَهۡتَدُوا۟ۗ قُلۡ بَلۡ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِـۧمَ حَنِیفࣰاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Mereka mengatakan ‘Jadilah kalian pengikut Yahudi atau Nasrani niscaya kalian mendapatkan petunjuk!’ Katakanlah, ‘Bahkan millah Ibrahim yang hanif itulah -yang harus diikuti- dan dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Al-Baqarah : 135)

Allah berfirman,

إِنَّ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ كَانَ أُمَّةࣰ قَانِتࣰا لِّلَّهِ حَنِیفࣰا وَلَمۡ یَكُ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

شَاكِرࣰا لِّأَنۡعُمِهِۚ ٱجۡتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan yang senantiasa patuh kepada Allah lagi hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.  Dia selalu mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (An-Nahl : 120-121)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya di atas syariat yang diridai.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/611)

Syekh Shalih alu Syekh hafizhahullah berkata, “Hakikat millah Ibrahim itu adalah mewujudkan makna laa ilaha illallah, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza Wajalla dalam surat Az-Zukhruf,

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ لِأَبِیهِ وَقَوۡمِهِۦۤ إِنَّنِی بَرَاۤءࣱ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ

إِلَّا ٱلَّذِی فَطَرَنِی فَإِنَّهُۥ سَیَهۡدِینِ

وَجَعَلَهَا كَلِمَةَۢ بَاقِیَةࣰ فِی عَقِبِهِۦ لَعَلَّهُمۡ یَرۡجِعُونَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah, kecuali Zat yang telah menciptakanku, maka sesungguhnya Dia akan memberikan petunjuk kepadaku.’ Dan Ibrahim menjadikannya sebagai kalimat yang tetap di dalam keturunannya, mudah-mudahan mereka kembali kepadanya.” (Az-Zukhruf : 26-28).” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 14)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kalimat ini, yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan mencampakkan segala berhala yang disembah selain-Nya, itulah kalimat laa ilaha illallah yang dijadikan oleh Ibrahim sebagai ketetapan bagi anak keturunannya supaya dengan sebab itu orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dari keturunan Ibrahim ‘alaihis salam tunduk mengikutinya.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7/225)

Syekh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya agama Allah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, agama yang menjadi misi diutusnya para rasul, dan agama yang menjadi muatan kitab-kitab yang diturunkan-Nya ialah Al-Hanifiyah. Itulah agama Ibrahim Al-Khalil ‘alaihis salam. Sebagaimana itu menjadi agama para nabi sebelumnya dan para rasul sesudahnya hingga penutup mereka semua yaitu Muhammad, semoga salawat dan salam tercurah kepada mereka semuanya.” (lihat Al-Bayan Al-Murashsha’ Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 14)

Allah berfirman,

ثُمَّ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ حَنِیفࣰاۖ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, ‘Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.’” (An-Nahl : 123)

Allah berfirman,

قُلۡ إِنَّنِی هَدَىٰنِی رَبِّیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ دِینࣰا قِیَمࣰا مِّلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ حَنِیفࣰاۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.’” (Al-An’am : 161)

Syekh Shalih bin Abdul Aziz alu Syekh hafizhahullah berkata, “Maka millah Ibrahim ‘alaihis salam itu adalah tauhid.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘, hal. 15)

Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri hafizhahullah berkata, “Millah Ibrahim itu adalah syariat dan keyakinan yang dijalani oleh bapaknya para nabi yaitu Ibrahim ‘alaihis salam. Dan Ibrahim adalah salah satu nabi yang paling utama dan termasuk jajaran rasul yang digelari sebagai ulul ‘azmi.” (lihat Syarh Mutun Al-‘Aqidah, hal. 224)

Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘Azza Wajalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330)

Baca Juga: Menilik Perhatian Para Sahabat Terhadap Masalah Aqidah

Agama Para Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Para nabi itu adalah saudara-saudara sebapak, sedangkan ibu mereka berbeda-beda. Dan agama mereka itu adalah sama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Allah berfirman,

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu (Muhammad) seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tiada sesembahan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (Al-Anbiyaa’ : 25)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dakwah para rasul ialah mengajak kepada tauhid dan meninggalkan syirik. Setiap rasul berkata kepada kaumnya,

یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤۖ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah (semata), tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (Huud : 50).

Inilah kalimat yang diucapkan oleh Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Ibrahim, Musa, ‘Isa, Muhammad, dan segenap rasul ‘alaihimush sholatu wassalam. (lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 19)

Abu Qilabah rahimahullah berkata, “Orang yang hanif adalah yang beriman kepada seluruh rasul dari yang pertama hingga yang terakhir.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/448)

Qatadah rahimahullah berkata, “Al-Hanifiyah itu adalah syahadat laa ilaha illallah.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/448)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif itu adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Inilah orang yang hanif. Yaitu orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan hati, amal, dan niat serta kehendak-kehendaknya semuanya untuk Allah. Dan dia berpaling dari pujaan/sesembahan selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 328)

Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “Al-Hanifiyah itu adalah tauhid. Yaitu kamu beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya. Ini merupakan kandungan makna dari laa ilaha illallah. Karena sesungguhnya maknanya adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 11)

Demikian sedikit kumpulan catatan. Semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Baca Juga:

Bersambung insyaAllah.

Penulis: Ari Wahyudi


Artikel asli: https://muslim.or.id/69320-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-5.html